Hujan rintik-rintik membasahi kota. Di kafe mungil yang berselimut cahaya temaram, Anya duduk termenung.
Pandangannya menerawang keluar jendela, mengikuti tetesan air yang menari-nari di kaca. Sebuah buku tebal tergeletak terbuka di mejanya, namun tak satupun kata yang berhasil ia cerna.
Pikirannya melayang pada pertemuannya dengan seorang pria misterius di perpustakaan beberapa minggu lalu.
Mata mereka bertemu sekejap, lalu teralihkan pada buku yang sama. Sejak saat itu, Anya merasa ada koneksi tak terduga di antara mereka.
Pria itu memiliki senyum yang menenangkan dan tatapan mata yang dalam, seperti menyimpan segudang rahasia.
"Permisi, boleh bergabung?"
Anya tersentak dari lamunannya. Seorang pria dengan jaket kulit hitam berdiri di hadapannya. Lelaki itu tersenyum tipis, matanya berbinar di bawah cahaya lampu. Anya mengangguk ragu.
"Saya, Liam," ucapnya sambil menyodorkan tangan.
Mereka mengobrol banyak hal sepanjang malam itu. Liam ternyata seorang penulis lepas yang sering menghabiskan waktu di perpustakaan untuk mencari inspirasi.
Pembicaraan mereka mengalir begitu saja, seolah mereka sudah saling mengenal sejak lama. Anya merasa nyaman berada di dekat Liam. Ada kehangatan yang membuatnya ingin terus bersama pria itu.
Hari-hari berikutnya, mereka sering bertemu. Mereka berjalan-jalan di taman, menonton film di bioskop, atau sekadar duduk di kafe sambil membaca buku.
Anya merasa hidupnya semakin berwarna sejak mengenal Liam. Namun, di balik semua kebahagiaan itu, ada rasa gelisah yang terus menghantuinya.
Liam selalu tampak tertutup tentang masa lalunya. Saat Anya mencoba menanyakan sesuatu yang lebih pribadi, Liam selalu menghindar dengan alasan yang dibuat-buat. Anya mulai merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Liam.
Suatu hari, Anya menemukan sebuah buku harian di dalam tas Liam yang tertinggal di apartemennya. Dengan rasa penasaran yang besar, Anya membuka buku itu.
Di halaman pertama, ia menemukan sebuah foto. Foto itu memperlihatkan Liam bersama seorang wanita cantik. Wanita itu memiliki mata yang sangat mirip dengannya.
Anya tertegun. Hatinya terasa seperti diiris pisau. Ia baru menyadari bahwa selama ini ia hanya menjadi pengganti bagi wanita yang dicintai Liam. Air mata mengalir deras di pipinya.
Dengan hati yang hancur, Anya memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Liam. Ia tidak ingin terus terjebak dalam sebuah hubungan yang dibangun di atas kebohongan.
Malam itu, hujan turun dengan deras. Anya berdiri di jendela, memandang keluar. Ia merasa seperti sebuah potongan puzzle yang hilang.
Ia tidak tahu harus kemana dan apa yang harus dilakukan. Namun, Anya yakin bahwa suatu saat nanti, ia akan menemukan tempatnya di dunia.
Minggu-minggu berikutnya terasa begitu berat bagi Anya. Ia berusaha keras melupakan Liam dan buku harian itu, namun bayangan pria itu terus menghantuinya.
Setiap kali melihat buku, pena, atau bahkan secangkir kopi, Anya selalu teringat pada momen-momen indah yang pernah mereka lewati bersama.
Suatu sore, saat sedang mengemasi buku-buku di kamarnya, Anya menemukan sebuah amplop kecil di sela-sela halaman buku yang ia beli di toko buku bekas.
Dengan hati-hati, ia membuka amplop itu dan menemukan sebuah surat tulisan tangan. Surat itu ternyata ditujukan untuknya.
"Anya, jika kau membaca surat ini, berarti kau sudah menemukan kebenarannya. Aku tahu aku telah menyakitimu. Aku sangat menyesal. Aku tidak ingin kehilanganmu. Aku mencintaimu."
Anya tertegun membaca surat itu. Hatinya bergemuruh antara marah dan haru. Ia tidak tahu harus percaya atau tidak pada kata-kata Liam. Namun, di sisi lain, ia masih memiliki perasaan yang mendalam untuk pria itu.
Dengan ragu, Anya memutuskan untuk menghubungi Liam. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya Liam mengangkat teleponnya.
"Liam, aku membaca suratmu," ucap Anya dengan suara bergetar.
"Anya, aku mohon maafkan aku. Aku akan menjelaskan semuanya," jawab Liam dengan nada memohon.
Mereka bertemu di kafe tempat mereka pertama kali bertemu. Liam menceritakan semuanya dengan jujur. Ternyata, wanita dalam foto itu adalah kakak perempuannya yang telah meninggal beberapa tahun lalu.
Liam sangat mencintai kakak perempuannya dan selalu merasa kehilangan. Karena itu, ia mencari sosok yang mirip dengan kakaknya.
"Aku tahu ini salah, tapi aku tidak bisa mengendalikan perasaanku. Aku berharap kau bisa memaafkanku," ujar Liam.
Anya terdiam. Ia mencoba memahami perasaan Liam, namun hatinya masih terluka. Ia tidak tahu apakah ia bisa memberikan kesempatan kedua pada Liam.
"Aku butuh waktu untuk berpikir, Liam," jawab Anya akhirnya.
Liam mengangguk mengerti. Ia tahu bahwa Anya membutuhkan waktu untuk menyembuhkan hatinya.
Hari-hari telah berlalu, Anya merasa sudah mulai bisa menerima penjelasan Liam. Ia mulai luluh dan berharap bisa kembali bersama pria itu.
Namun, harapannya pupus saat ia menemukan sebuah pesan di ponsel Liam. Pesan itu ditujukan kepada seorang wanita lain, dengan panggilan sayang yang sangat intim.
Hatinya hancur berkeping-keping. Ternyata, selama ini Liam masih berhubungan dengan wanita lain. Rasa percaya yang baru saja ia bangun runtuh seketika. Anya merasa sangat bodoh dan dipermainkan oleh Liam.
Konflik batin melanda Anya. Di satu sisi, ia sangat marah dan kecewa pada Liam. Ia tidak bisa memaafkan kebohongan pria itu.
Di sisi sisi lain, ia masih memiliki perasaan cinta yang mendalam. Ia bingung harus bagaimana.
Anya memutuskan untuk menjauh dari Liam. Ia menghapus nomor telepon Liam dari ponselnya dan memblokir semua akun media sosialnya.
Ia mencoba untuk fokus pada pekerjaannya dan menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Namun, bayangan Liam terus menghantuinya.
Suatu malam, Anya bermimpi bertemu dengan Liam. Dalam mimpinya, Liam memohon maaf dan berjanji akan berubah. Anya terbangun dengan perasaan gelisah. Ia bingung apakah harus memberikan kesempatan lagi pada Liam atau tidak.
Setelah beberapa minggu penuh kebingungan dan kesedihan, Anya mulai mencoba untuk melanjutkan hidupnya. Ia berusaha untuk melupakan Liam dan kembali pada rutinitas sehari-hari. Namun, bayangan Liam terus menghantuinya.
Suatu malam, ketika Anya sedang duduk sendirian di balkon apartemennya, menatap bintang-bintang, tiba-tiba pintu apartemennya terbuka. Anya terkejut dan segera berdiri. Di ambang pintu, berdiri Liam.
"Anya," ucap Liam dengan suara lembut. Matanya terlihat sayu, namun senyum tipis terukir di bibirnya.
Anya tak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Liam? Bagaimana bisa kau di sini?" tanyanya dengan suara bergetar.
Liam berjalan mendekat dan duduk di samping Anya. Ia meraih tangan Anya dan menggenggamnya erat. "Aku tahu kau marah padaku, tapi aku harus memberitahumu sesuatu yang sangat penting," ucap Liam.
Anya menatapnya dengan penuh tanya. Liam menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan.
"Anya, aku sakit. Aku mengidap penyakit yang sangat serius dan tidak ada obatnya. Dokter mengatakan aku tidak punya banyak waktu lagi."
Air mata mengalir deras di pipi Anya. Hatinya hancur mendengar kabar itu. Ia merasa begitu bodoh karena baru mengetahui hal ini sekarang.
"Kenapa kau tidak bilang dari dulu?" tanya Anya dengan suara bergetar.
"Aku takut kehilanganmu," jawab Liam. "Aku tidak ingin melihatmu sedih. Aku ingin kita menghabiskan waktu yang tersisa bersama dengan bahagia."
Anya memeluk Liam erat-erat. Ia merasa begitu bersalah karena telah menyakiti hati Liam. Mereka menghabiskan malam itu bersama, saling berbagi cerita dan kenangan.