
Hari ke 10 bulan Ramadhan terasa sangat panas sekali. Pukul 14:30 bel sekolah sudah berbunyi, pertanda kegiatan belajar mengajar hari ini telah selesai.
“Alhamdulillah… akhirnya bisa pulang.” lirihku dengan lemas. Teman-teman mulai berhamburan keluar kelas. “San, mau bareng ke perpustakaan kota nggak?” tanya Ahmad sambil menepuk pundakku dari belakang.
“Astaghfirullah, bikin kaget aja kamu Mad!” sahutku sambil menyentuh dada. “Eh… ma… maaf San, gimana? mau barengan nggak nih?” ajak Ahmad sangat antusias.
Ahmad adalah teman satu kelas yang sering aku jumpai di perpustakaan kota, tapi setiap aku ajak dia berangkat bersama selepas pulang sekolah, dia selalu menolak.
Namun ketika aku sampai di perpustakaan, dia pasti sudah berada di loker penyimpanan tas. “Dasar aneh, giliran aku merasa lemas dia malah ngajak bareng.” gerutuku dalam hati.
“Maaf Mad, hari ini aku lemes banget. Rasanya nggak akan kuat berjalan sejauh itu dengan kondisi seperti ini.” jawabku dengan lemas. “Owalah, oke deh. Istirahat dulu aja San, lain kali kita berangkat bareng-nya” sahut Ahmad sambil ketawa.
“Baiklah, tapi awas jangan sampai kau menolak ajakanku!” tegas aku ucapkan. “Hahaha… Oke-oke. Aku pamit dulu San takut keburu tutup. Assalamu’alaikum.” pungkas Ahmad segera pergi.
“Wa’alaikumussalam, hati-hati!” aku berusaha mengatakannya lebih keras. Segera kubereskan buku yang masih semrawut di bangku meja. Setelah semua siap, dengan cepat aku segera pulang ke tempat kos yang jaraknya hanya 100 meter dari gerbang sekolah.
Rasa lemas pada setiap persendian dan tulang-tulang membuatku merasa berjalan bak kapas diterpa angin. Terasa melayang dan tak bisa berkonsentrasi memperhatikan orang-orang di sekeliling.
Terik matahari yang menyengat, bagaikan berjalan di tengah bara api yang menyambar-nyambar. Dalam hati sepintas muncul niat untuk membatalkan puasa. Kubayangkan betapa segarnya saat sampai di kamar kos meneguk segelas air putih.
Tidak berselang lama sampailah di depan gerbang kos. “Sudah pulang San?” bu Zahara menyapaku tersenyum. “Alhamdulillah sudah bu.” Aku berusaha menjawab seperti biasanya. Raut wajahku yang tampak pucat membuat bu Zahara cemas. “Apa kamu baik-baik saja Ahsan?” tanyanya penuh khawatir.
“Alhamdulillah baik bu, hanya butuh sedikit istirahat saja.” sahutku tersenyum agar bu Zahara tidak merasa cemas. “Ya sudah, istirahat saja, jangan dulu berangkat ke perpustakaan!” bu Zahara melarang dengan suara yang tegas.
Bu Zahara adalah ibu kos selama aku sekolah merantau. Beliau sudah kuanggap ibu sendiri. Setiap kali bepergian aku selalu pamit terlebih dahulu padanya.
Bahkan jika aku pulang terlambat dari perpustakaan kota, beliau dan suaminya tak segan meneleponku. Oleh karena itu, aku tidak terkejut saat bu Zahara melarangku berangkat ke perpustakaan kota.
Setelah selesai berbicara, aku langsung membuka sepatu dan kaos kaki lalu segera masuk kamar. Tas kutanggalkan di samping lemari baju.
Kulihat jam menunjukkan pukul 14:45 “Sebentar lagi waktu berbuka tiba, aku harus kuat menahan puasa sampai maghrib. Sayang sekali kalau 9 jam aku tahan, malah kubatalkan hanya karena sedikit lemas saja.” gumamku untuk menguatkan.
Aku kemudian merebahkan tubuh di atas kasur tanpa mengganti pakaian. Sesekali membaca buku yang dua hari lalu kupinjam dari perpustakaan kota.
Beberapa menit kemudian aku terlelap, tidak ingat apapun. “Ahsan… Ahsan…” kudengar suara laki-laki umur 50 tahunan memanggilku.
Aku lantas membuka mata, terbangun dari tidur dan beberapa kali mengucek mata yang belum seutuhnya terbuka. Kulihat ustadz Zaenal suami bu Zahara membangunkanku dengan penampilan rapi menggunakan sarung putih, baju koko lengan panjang beserta kopiah haji yang tertempel di kepalanya dan sorban putih terlilit di lehernya.
“Apa kamu baik-baik saja Ahsan? ibu cerita kamu pulang dengan wajah pucat tadi.” tanya ustadz Zaenal penuh perhatian.
“Alhamdulillah ustadz, saya baik-baik saja.” jawabku meyakinkan. “Alhamdulillah. Kalau ada apa-apa jangan sungkan bicarakan ke bapak dan ibu!” ucap ustadz Zaenal. “Baik ustadz!” sambungku bersemangat. Ustadz Zaenal kemudian pergi.
“Alhamdulillah aku sudah tidak merasa lemas lagi.” rasa syukur aku panjatkan kepada Allah SWT. Tidak lama kemudian kulihat jam “Astaghfirullah, sudah jam 16:45, belum sholat Ashar!” dengan terkejut dan sedikit tergesa-gesa aku segera pergi ke arah keran air untuk mengambil wudhu.
Segera aku tunaikan sholat Ashar. Selesai sholat, aku teringat hari ini hari Sabtu. Ba’da Maghrib sampai Isya ada jadwal Tahsin Al-Qur’an bersama ustadz Zakaria di Masjid Agung Kota.
Tanpa pikir panjang aku mengambil handuk dan peralatan mandi. Segera aku menuju kamar mandi. Selesai mandi, aku bersiap-siap dan berpakaian dengan rapi.
Kulihat jam menunjukkan pukul 17:10. Artinya aku memiliki waktu 30 menit untuk sampai di Masjid Agung Kota sebelum adzan Maghrib berkumandang.
“Masih belum terlambat.” gumamku menyemangati diri sendiri. Jarak tempat kos ke Masjid Agung Kota kurang lebih 2 km. Waktu perjalanan yang biasa aku butuhkan tidak lebih dari 20 menit.
Setelah semuanya siap, aku segera berangkat dengan menggendong tas yang isinya botol air dan Al-Qur’an kecil serta satu buah buku catatan lengkap dengan alat tulisnya. Aku berjalan menuju gerbang.
“Mau kemana San?” bu Zahara bertanya sambil menyiram tanaman di halaman depan.
“Hari ini saya ada jadwal Tahsin Al-Qur’an di Masjid Agung Kota bu.” jawabku bersemangat.
“Memangnya sudah baikan?” tanya bu Zahara khawatir. “Alhamdulillah, dengan istirahat sudah membuat saya kembali seperti sedia kala bu.” aku meyakinkan.
“Tapi sebentar lagi Maghrib, nggak buka puasa dulu saja? nanti setelah sholat Maghrib baru berangkat?” saran bu Zahara sedikit memaksa.
“Masih ada 30 menit bu, di jalan biasanya saya butuh waktu 20 menit untuk sampai ke Masjid Agung Kota. Mengenai buka puasa, di sana sudah biasa ada buka bersama untuk para jama’ah. Jadi ibu tidak perlu khawatir.” Aku berusaha meyakinkan bu Zahara.
“Baiklah, hati-hati di jalan!” dengan suara yang sedikit cemas bu Zahara mengizinkanku.
“Assalamu’alaikum.” ucapku semangat. “Wa’alaikumussalam.” jawabnya.
Aku kemudian membuka gerbang dan berjalan menuju Masjid Kota. Kupilih jalur melalui jalan nasional. Beberapa bangunan toko terlihat sudah mulai menyalakan lampu.
Aku berusaha berjalan lebih cepat karena sisa perjalan tinggal 500 meter lagi. Sesekali kulihat jam di handphone sudah menunjukan pukul 17:25. Waktu adzan Maghrib tinggal 15 menit lagi. Aku yakin akan segera sampai di Masjid Kota hanya dengan 10 menit saja.
Tepat di depan restoran Ayam Geprek Khas Yogyakarta sebuah mobil Avanza berwarna silver hendak berparkir untuk masuk area restoran.
Kakiku terhenti karena terdengar suara seseorang memanggil namaku. “Ahsan!” suara perempuan memanggil namaku dengan suara yang tidak terlalu keras.
Dalam hati aku bertanya-tanya “Siapa yang memanggilku?” sambil menengok ke setiap arah. Kulihat seorang anak laki-laki berumur 5 tahunan melambaikan tangan kepadaku dari balik pintu kaca mobil yang telah berhenti berparkir.
Aku mematung terheran “Suara yang aku dengar kan suara perempuan. Kenapa yang melambaikan tangan seorang anak laki-laki?” semakin heran.
Tidak lama kemudian keluar dua orang, perempuan dan laki-laki berkacamata sekitar 40 tahunan dari pintu bagian depan. Disusul seorang anak laki-laki yang melambaikan tangan padaku beserta dua orang perempuan berusia sekitar 13 tahun dan 18 tahunan.
Kulihat anak laki-laki dan kakak pertama dari 3 bersaudara itu menghampiriku “Assalamu’alaikum Ahsan, mau kemana?” tanya seorang perempuan yang tidak asing di telingaku.
Aku perhatikan dengan baik, ternyata perempuan itu adalah Aisha, teman satu kelasku.
“Wa’alaikumussalam… ini mau ke Masjid Agung Kota. Ba’da Maghrib akan ada Tahsin Al-Qur’an Cha.” jawabku. “Siapa Cha?” tanya seorang laki-laki berumur 40 tahunan menghampiri.
“Ini pah, Ahsan teman satu kelasku.” Aisha memperkenalkanku kepada ayahnya. “Oh… Hafidz ayahnya Aisha.” sambil mengulurkan tangan mengajak berkenalan.
Dengan cepat aku ulurkan tangan juga “Ahsan, temannya Aisha.” jawabku mengenalkan diri.
“Zaelani, ayok sini!” panggil perempuan yang aku tebak adik pertama Aisha. “Tunggu kak Nurul!” sahut Zaelani sambil lari. “10 menit lagi buka puasa, mau kemana?” tanya pak Hafidz kepadaku cukup heran.
“Ke Masjid Agung Kota pak, ba’da Maghrib akan ada Tahsin Al-Qur’an.” aku menjelaskan.
“Ikut buka bersama dulu aja dengan kami ya, nanti selesai buka puasa kita berangkat bersama ke Masjid Kota.” pak Hafidz mengajak dengan penuh harap aku akan menerima tawarannya.
“Terima kasih pak, saya rasa tidak perlu, Masjid Kota sudah dekat kok, nanti saya buka di sana saja.” aku menolak ajakan ayahnya Aisha.
“Masjid Kota masih 500 meter lebih lho San, adzan Maghrib tinggal 8 menit lagi.” sambung Aisha. “Bener kata Aisha, masa iya mau lari?” desak pak Hafidz.
Aku terdiam sesaat dan pak Hafidz menyambung lagi “Ikut saja ya nggak papa, buka puasa kan sunnahnya disegerakan. Saya khawatir adzan Maghrib berkumandang kamu masih separo jalan.” pak Hafidz semakin mendesak.
“Baiklah pak, saya ikut berbuka bersama kalian.” aku menerima tawaran ayahnya Aisha karena memang tidak bisa mengelak lagi. Setelah mendengar jawabanku, Aisha bergegas menyusul adik dan ibunya yang sudah terlebih dahulu masuk restoran untuk memilih meja makan.
“Ayok…” ajak pak Hafidz kepadaku. “Iya pak” sahutku.
“Asli dari mana kamu San?” tanya pak Hafidz lebih akrab.
“Dari kampung Waringin pak, ujung kota.” aku menjawab sedikit gugup.
“Owalah, anak rantau ternyata, di sini tinggal di mana?” lanjutnya bertanya.
“Kos di tempat ustadz Zaenal pak, 100 meter ke arah timur dari sekolah.” jawabku mencoba lebih akrab.
Tidak lama kemudian sampailah di meja makan restoran yang sudah tersedia hidangan. Ibunya Aisha ternyata sudah memesankan duluan.
“Silahkan duduk!” dengan ramah ibunya Aisha mempersilahkan kepadaku. Kulihat pak Hafidz segera duduk.
“Baik, terima kasih bu.” aku menjawab dan duduk tepat di samping pak Hafidz dan adik laki-laki Aisha. Pak Hafidz duduk di depan istrinya, aku sendiri duduk di depan Aisha, dan Zaelani duduk di depan Nurul.
Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 17:37, Aisha dan kedua adiknya sesekali bercanda begitu akrab sekali. Aku bahkan tidak percaya Aisha yang begitu pendiam di kelas justru bisa sangat menyenangkan di mata adik-adiknya.
“Sudah lama nak Ahsan ikut Tahsin di Masjid Kota?” tanya ibunya Aisha kepadaku. Tampaknya Aisha sudah memberitahu ibunya.
“Alhamdulillah sejak kelas 10 bu.” jawabku dengan sedikit gugup.
“Tuh dengerin Nurul! kak Ahsan saja yang sudah gede masih mau ikut Tahsin, masa kamu nggak?” sindir pak Hafidz.
Sontak saja wajah Nurul memerah. Aisha dan adik laki-lakinya kemudian mengejeknya. Tentu saja Nurul tambah malu.
“Tidak apa-apa pak, yang penting Nurul masih mau belajar kepada Aisha. Saya pernah mendengar bacaan Al-Qur’an Aisha bagus sekali di sekolah.” Aku mencoba membela Nurul.
Aisha menunduk mendengar aku memujinya. Wajah Nurul pun tidak merah lagi. Adzan Maghrib pun berkumandang.
“Alhamdulillah...” semua mengucapkan hamdalah hampir bersamaan.
“Bang, baca do’a bang!” Aisha berkata menyuruh Zaelani.
“Allahumma laka shumtu wabika amantu wa’ala rizqika afthortu birohmatika yaa arhamar rohimin.” suara Zai berdo’a buka puasa dengan sangat lancar di sampingku.
“Aamiin…” semuanya mengamini do’a Zaelani.
Kita kemudian berbuka puasa bersama-sama dengan diawali minum air putih dan 3 buah kurma. Selanjutnya makan hidangan, kulihat wajah Zaelani begitu senang dengan suasana keluarganya.
Sesekali Zaelani hendak mengambil makanan yang berada jauh dari jangkauannya. Aku lantas membantunya.
Kulihat mata Aisha memelototi Zaelani sambil berkata “Abang! ambil makanan yang dekat denganmu!”.
“Huhhhh… dasar....” ejek Nurul. Kulihat kedua orang tuanya hanya tersenyum.
Zaelani yang masih anak-anak tentu belum mengerti tentang hal ini. Aku paham Aisha hendak mengajarkan hadits Nabi saw tentang adab makan.
Aku mencoba membela Zaelani “Gapapa Cha, Zai belum tahu. Aku juga tidak merasa terganggu kok.” belaku terhadap adik laki-laki Nurul. Aisha pun terlihat kesal dan melanjutkan makan.
“Lain kali ambil makanan yang dekat dari abang ya, karena Rasulullah memerintahkan demikian. Supaya kak Aisha nggak marahin abang lagi.” bisikku ke Zaelani.
Dia pun mengangguk pertanda paham. Kami melanjutkan makan sampai selesai.
“Seperti itulah San, saya dengan ibunya hanya akan menjadi wasit, Aishalah yang mengajari adik-adiknya. Jika Aisha sudah tidak bisa, baru saya dan ibunya turun tangan. Aisha seperti itu karena dulu dia juga diajari hal yang sama oleh ibunya.” bisik pak Hafidz kepadaku.
“Wahhh… kakak yang baik ya pak.” jawabku berbisik kagum.
Pak Hafidz kemudian tertawa kecil. Kulihat Aisha heran. Setelah semuanya selesai, aku mengucapkan terima kasih kepada keluarga Aisha atas jamuannya.
Lalu kami bersiap-siap meninggalkan restoran menuju ke Masjid Kota. Di perjalanan kudengar Nurul dan Aisha saling bercanda.
Sedangkan aku berkenalan lebih akrab dengan adik laki-lakinya. Dalam 10 menit kami sampai di Masjid Kota dan segera mengambil air wudhu.
Pak Hafidz, Aku dan Zaelani sholat berjamaah dengan diimami pak Hafidz karena sholat Maghrib berjamaah dengan imam masjid sudah selesai.
Setelah sholat, kuajak Zaelani ikut Tahsin Al-Qur’an bersama. Selesai tahsin dan sholat tarawih, akupun diantar pulang oleh keluarga Aisha.